Wednesday 10 March 2010

Pembagian Peran Dalam Perkawinan

Telah Diterbitkan pada AL-AHKAM Jurnal Hukum, Sosial dan Keagamaan. Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN SMHB Vol 1. No 1 Januari-Juni 2007.

Abstrak
Kecenderungan laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya, merupakan hubungan antar manusia yang paling kodrati. Pada awalnya kecenderungan antar lawan jenis ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan seksual. Agama dan budaya memberi aturan bagaimana seharusnya kecenderungan seksual ini disalurkan.
Perkawinan merupakan aturan yang ditetapkan oleh agama dan budaya untuk menyalurkan kecenderungan seksual ini sehingga hubungan lawan jenis menjadi sah/ boleh. Tetapi apakah hukum perkawinan hanya berfungsi sebagai legitimasi hubungan seksual belaka? Ternyata tidak. Hukum perkawinan Islam mencakup segala aturan; bukan hanya mencakup masalah hubungan seksual tetapi juga mengatur peran-peran sosial ekonomi antara suami isteri. Di dalamnya ditentukan bagaimana sebetulnya bentuk struktur keluarga Islami dan etika hubungan antar individu dalam keluarga. Semuanya diatur demi memenuhi rasa keadilan dan keseimbangan peran dalam keluarga sehingga tercipta keharmonisan.
Perkembangan sosial yang terus berubah membawa serta perubahan peran individu dalam keluarga. Pada kasus-kasus tertentu (sekarang sudah umum terjadi) isteri turut menanggung beban ekonomi keluarga. Lalu ketika isteri juga mampu mencari nafkah, bergeserkah posisi suami sebagai kepala keluarga? Dalam tulisan ini akan dijelaskan beberapa alasan mengapa isteri turut menanggung peran-peran ekonomi, sejauhmana hukum perkawinan Islam memberi peluang untuk itu serta bagaimana agar peran-peran tiap individu dalam keluarga tetap berjalan seimbang.
Kata kunci: Peran, Perkawinan

A. Pendahuluan
Ketika seseorang merencanakan untuk melangsungkan perkawinan dengan pasangannya, pada saat itu pula keduanya merencanakan untuk membentuk kelompok baru yang disebut keluarga. Semua bentuk kelompok sosial yang ada dalam masyarakat memerlukan pembagian peran dan tanggung jawab. Selain itu setiap anggota kelompok memiliki hak-hak tertentu atas kelompok. Semua pembagian peran, tanggung jawab dan hak dalam kelompok ditujukan demi mencapai tujuan dan integritas kelompok tersebut. Demikian pula halnya dengan keluarga. Setiap keluarga pasti memiliki tujuan; mengapa pasangan tersebut bertekad menikah dan membentuk keluarga serta kondisi seperti apa yang ingin mereka capai dalam membentuk keluarga tersebut. Di dalam keluarga pembagian peran dan tanggung jawab merupakan sebuah keharusan.
Setiap peran yang harus dilakukan individu dalam kelompok berkaitan erat dengan status yang menempatkan individu tersebut pada posisi tertentu dalam struktur kelompok. Dalam struktur hirarkis vertikal sebuah keluarga, “Bapak (suami)” menempati posisi/ status sebagai kepala keluarga yang dituntut untuk dapat melaksanakan peran-peran tertentu. Status atau kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sedangkan peranan merupakan aspek dinamis dari status .
Di dalam sebuah tatanan masyarakat, suatu status berisikan hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang. Ketika hak dan kewajiban dilaksanakan dengan melibatkan orang lain dalam lingkungan sosialnya, pada saat itulah individu melaksanakan peranan sesuai dengan statusnya. Apabila individu tidak dapat melaksanakan peranan sesuai statusnya maka hal itu disebut konflik status (conflict of status).

B. Posisi dan Peran Suami Dalam Keluarga
Di dalam Islam, keluarga merupakan sebuah kelompok sosial yang telah ditetapkan bentukya. Pertama keluarga terbentuk karena proses pernikahan yang didalamnya terdapat ijab kabul antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kedua secara garis besar Islam telah menetapkan posisi suami, isteri dan anak-anak dalam keluarga. Islam menetapkan posisi laki-laki adalah pemimpin kaum wanita dalam keluarga . Dalam tafsir Ibnu Katsir dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pemimpin (qawwamun) adalah laki-laki sebagai pengatur atau pengontrol jika keliru .
Seorang laki-laki hendakya memiliki pengetahuan tentang rumah tangga Islam, karena kepemimpinan seorang laki-laki dalam keluarga akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah mengingat isteri adalah amanah yang diberikan langsung oleh Allah dan para suami menikahi isterinya dengan menyebut kalimat Allah. Bagaimana seorang laki-laki dapat menjadi pemimpin yang baik dalam keluarga jika ia tidak mengetahui konsep perkawinan Islam, khususnya pengetahuan tentang perannya sebagai seorang suami dan seorang ayah dari anak-anaknya. Selain bertanggung jawab menafkahi isteri, suami pun bertanggung jawab membimbing akhlak isterinya. Karena itu sebelum menikah seorang laki-laki harus membenahi dirinya dengan akhlak Islam. Rasulallah mengajarkan kepada para suami bagaimana cara membimbing isteri.
Dari Abu Hurairah, Rasulallah SAW bersabda: “Nasehatilah para wanita itu baik-baik, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok; dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang teratas. Jika engkau terlalu keras meluruskannya engkau akan mematahkannya. Tetapi jika engkau biarkan tentu akan tetap bengkok. Karena itu berilah nasehat baik-baik kepada para wanita” (HR Bukhari dan Muslim).

Maksud dari hadist di atas adalah bahwa Rasulallah melarang suami melakukan cara-cara yang kasar dalam menasehati dan meluruskan kekeliruan isteri. Rasulallah memisalkan dengan “tulang rusuk yang patah” jika suami menasehati isterinya dengan cara yang kasar, isteri akan merasa kebingungan dan frustrasi. Tetapi suamipun jangan bersikap terlalu lunak hingga melemahkan posisi laki-laki sebagai pemimpin keluarga dan membuat isteri berbuat seenaknya. Peran suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga ditetapkan pula dalam UU no.1 tahun 1974 pasal 31 ayat 3.
Dalam pasal 34 ayat 1 UU no. 1 tahun 1974 dinyatakan bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuannya. Kondisi sosial telah berkembang semakin cepat. Terdapat perubahan beberapa aspek dalam lembaga-lembaga sosial yang ada di masyarakat, ternasuk lembaga keluarga. Kini tugas mencari nafkah (keperluan rumah tangga) tidak hanya dilakukan oleh suami tetapi juga oleh isteri. Ada beberapa alasan mengapa isteri ikut serta dalam mencari nafkah yaitu:
1. Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Artinya jika isteri tidak ikut serta mencari nafkah maka keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
2. Untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga. Artinya kondisi ekonomi keluarga sudah mencukupi tetapi untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi maka isteri ikut serta membantu mencari nafkah.
3. Dengan mobilitas perempuan yang cukup tinggi, peningkatan mutu pendidikan bagi perempuan dan demi prestise sosial, kadangkala isteri merasa perlu untuk mengambil peran di ruang publik dengan bekerja dan menghasilkan uang. Motivasi yang utama dalam hal ini adalah dorongan aktualisasi.
Dengan perubahan peran perempuan yang turut serta mencari nafkah atau dalam kondisi tertentu suami tidak mampu mencarai nafkah, apakah ada pengaruhnya terhadap fungsi suami sebagai kepala keluarga? Secara konseptual, perluasan peran isteri yang juga turut mencari nafkah tidak serta merta menggeser fungsi suami sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga. Mengapa? Karena kepemimpimpinan suami dalam rumah tangga tetap akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Inti kepemimpinan suami adalah menjaga dan meningkatkan keimanan anggota keluarganya. Inti kepemimpinan suami dalam keluarga adalah seperti pada firman Allah: Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Jika isteri dan anak-anak memiliki perilaku buruk maka laki-laki sebagai suami dan ayah turut bertanggung jawab atas kondisi tersebut, kecuali jika laki-laki tersebut telah berusaha menjalankan peran-perannya dengan baik dalam keluarga dan perilaku buruk anggota keluarga tersebut bukan disebabkan karena kelalaiannya sebagai pemimpin rumah tangga. Esensi kepemimpinan inilah yang harus dipertanggung jawabkan dihadapan Allah. Sebaliknya Allah akan memberikan pahala dan penghargaan yang tinggi kepada laki-laki yang berusaha dengan keras menjalankan perannya sebagai suami dan ayah. Seperti sabda Rasulullah: “Barangsiapa yang menafkahkan hartanya untuk isteri, anak dan penghuni rumah tangganya, maka dia telah bersedekah” (HR Thabrani). Hadist ini menunjukkan bahwa sumbangan materiil untuk konsumsi anggota keluarga mempunyai nilai ibadah dan orang yang melakukannya mendapat pahala. Tidak ada satupun perilaku yang terlepas dari nilai ibadah. Karena itu seorang laki-laki yang menafkahkan pendapatannya untuk anggota keluarganya akan mendapat penghargaan dari Allah. Setiap nafkah yang diberikan kepada keluarga adalah sedekah. Maka jika seorang laki-laki bersungguh-sungguh dan ikhlas menafkahi keluarganya setiap hari maka sungguh besar nilai sedekah dan pahala bagi dirinya. Selanjutnya tergantung pada niat para suami dalam memberi nafkah kepada isteri dan anak-anaknya, apakah dengan itu ia akan menunjukkan kekuasaan yang sewenang-wenang atau ikhlas semata-mata karena Allah dan karena cinta kasihnya kepada keluarga.
Pada konteks masyarakat sekarang, seringkali tanggung jawab ekonomi yang ada pada suami ditafsirkan sebagai ketergantungan ekonomi isteri kepada suami yang dapat menyebabkan lemahnya posisi tawar terhadap keputusan-keputusan rumah tangga. Jika tugas mencari nafkah yang diemban oleh suami disadari sebagai sesuatu yang sakral dan memiliki nilai-nilai ketuhanan maka ketidakadilan dalam rumah tangga akan dapat dicegah. Pada dasarnya pemberian nafkah kepada isteri bukanlah merupakan ketergantungan ekonomi isteri pada suami tetapi justru jaminan sosial ekonomi yang diberikan suami karena tugas-tugas isteri yang tak dapat tergantikan seperti hamil, melahirkan, menyusui dan pengasuhan anak-anak serta tugas-tugas domestik lainnya yang menyebabkan isteri tidak dapat menafkahi dirinya sendiri.
Apabila suami tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga maka isteri dibolehkan untuk membantu suami bekerja. Hal demikian dinilai sebagai bentuk hubungan yang saling menolong seperti hadist yang berbunyi:
Apabila seorang isteri menafkahkan makanan rumah tangganya dengan tidak bermaksiat, maka dia mendapat pahala dari apa yang diusahakan, demikian pula suami mendapat pahala dari apa yang diusahakannya, demikian pula pelayan mendapat pahala dan pahala mereka tidak dikurangi sedikitpun (HR. Thabrani).
Jika isteri ikut bekerja mencari nafkah, bukan berarti suami melepaskan tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah. Dalam beberapa kasus yang terjadi di masyarakat, isteri tidak mendapat mendapatkan nafkah materi dari suami karena dianggap telah memiliki pendapatan sendiri. Sebaiknya ada beberapa hal yang mungkin perlu disepakati oleh suami dan isteri dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi rumah tangga yang ada. Kesepakatan ini perlu agar keduanya (suami isteri) merasakan keadilan dalam pembagian peran di rumah tangganya. Keterbukaan dalam hal keuangan rumah tangga merupakan satu hal yang sangat penting. Bukankah sepasang suami isteri adalah satu tim yang berusaha mewujudkan sebuah proyek yaitu keluarga yang stabil dan seimbang, sehingga dapat terpenuhinya kebutuhan material dan spiritual anggotanya. Maka apapun yang dilakukan dan diusahakan oleh suami dan isteri tentunya ditujukan untuk menciptakan bangunan keluarga yang kokoh.

C. Posisi dan Peran Isteri Dalam Keluarga
Sebuah sistem akan berjalan harmonis apabila semua unsur dalam sistem tersebut melaksanakan fungsinya dengan baik. Semua unsur dalam sistem tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang saling mendukung demi kestabilan sistem tersebut. Demikian pula halnya yang terjadi dalam sistem keluarga. Masing-masing anggota keluarga (yang merupakan unsur-unsur dari sistem keluarga) memiliki fungsi dan perannya masing-masing yang saling melengkapi. Suami menjadi pemimpin keluarga dan pencari nafkah, isteri melahirkan dan menyusui anak-anaknya dan yang terutama adalah menerima kepemimpinan suami. Sebagai isteri ia harus menghormati peran-peran suaminya sebagai pemimpin keluarga. Bagaimana cara menerima dan menghormati kepemimpinan suami? Ada beberapa petunjuk dari Al Qur’an dan hadist yang bisa menjadi tuntunan bagi isteri agar bisa menerima kepemimpinan suami yaitu: Pertama, di dalam Al Qur’an dinyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan.
Laki-laki diberi tanggung jawab sebagai pemimpin dalam keluarga, maka Allah telah menciptakan laki-laki sesuai dengan kadarnya sebagai pemimpin keluarga. Kondisi fisik dan psikologis diciptakan sedemikian rupa sehingga telah ada kadar dan potensi laki-laki untuk memimpin keluarganya. Demikian juga tentang perempuan, kondisi fisik, biologis dan psikologisnya diciptakan untuk dapat melahirkan, menyusui serta fungsi pengasuhan anak. Tetapi potensi saja tidak cukup untuk dapat menjalankan peran-peran sosial dalam keluarga. Potensi tersebut harus diasah dan laki-laki serta perempuan harus mempelajari peran-peran tersebut melalui proses sosialisasi. Selain itu mereka harus memiliki seperangkat pengetahuan yang cukup untuk dapat menjalankan peran-perannya dalam keluarga.
Setiap isteri hendaknya memahami bahwa Al Qur’an telah menetapkan bahwa laki-laki adalah pemipin keluarga. Di dalamnya terdapat hikmah yang besar bagi orang-orang yang beriman. Isteri menerima kepemimpinan suami sebagai bentuk keimanannya kepada Allah dan karena sebuah kesadaran memang harus ada seorang pemimpin dalam keluarga. Posisi suami sebagai pemimpin keluarga justru memiliki makna bahwa suami wajib menjamin kehidupan isteri lahir dan bathin, karena istri adalah amanah Allah yang diberikan langsung kepada suami. Isteri memiliki rahim yang darinya sebuah kehidupan dimulai. Inilah makna inti dari mengapa isteri dinilai sebagai amanah dari Allah. Jika suami memimpin dengan baik, memberi nafkah lahir dan bathin, membimbing serta melindungi isterinya berarti ia memelihara sebuah kehidupan yang lahir dari rahim isterinya. Dengan penghargaan yang diberikan Islam terhadap kedudukan isteri dalam rumah tangga maka selayaknya isteri menerima kepemimpinan suami dengan baik. Kedua, di dalam hadis dinyatakan:
Setiap orang diantaramu adalah penanggung jawab dan setiap orang dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah penanggung jawab atas ummatnya. Ia dimintai tanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang suami penanggung jawab atas keluarganya, ia dimintai tanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri penanggung jawab atas rumah tangga suaminya (bila suami pergi), ia dimintai tanggung jawab atas kepemimpinannya. (HR Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi dari Ibnu Umar).
Bila suami tidak di rumah, maka isteri mengambil alih kepemimpinan rumah tangga. Kewajiban utama isteri selama suami tidak di rumah adalah tanggung jawab menjaga harta kekayaan suami dan anak-anak. Segala sesuatu menyangkut keputusan rumah tangga harus melalui ijin atau kesepakatan suami. Hal ini perlu dilakukan demi menghormati kepemimpinan suami sehingga suami tidak merasa diabaikan. Selain itu seorang isteri yang baik adalah isteri yang menjaga kehormatan dirinya ketika suami tidak di rumah, seperti diriwayatkan dalam sebuah hadist: “Rasulallah bersabda: sebaik-baik isteri yaitu yang menyenangkan mu ketika kamu lihat, taat kepadamu ketika kamu suruh, menjaga dirinya dan harta kamu ketika kamu pergi (HR Thabrani dari Abdullah bin Salam).” Di dalam Al Qur’an dinyatakan: Wanita-wanita shalihah yaitu yang taat (berdiam di rumah) lagi memelihara kehormatannya ketika suaminya pergi sebagaimana Allah telah memeliharanya .
Para isteri memiliki tugas yang lebih berat ketika suaminya tidak di rumah. Selain mengambil alih kepemimpinan suami untuk sementara, ia juga harus memelihara kehormatannya, misalnya tidak menerima tamu yang bukan muhrim untuk masuk ke dalam rumahnya. Di dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, tidak mempersilahkan masuk tamu yang datang dianggap tidak sopan. Sebagian masyarakat tidak mengerti bahwa hal ini sangat tidak dianjurkan oleh Islam karena dapat menimbulkan fitnah. Para isteri yang bekerja di luar rumah juga hendaknya menjaga pergaulan dengan orang-orang yang bukan muhrim di lingkungan kerjanya. Interaksi yang cukup lama dan intens dalam lingkungan kerja dapat menumbuhkan suasana akrab. Tetapi kadangkala keakraban ini dapat menimbulkan fitnah karena tidak bisa menjaga pergaulan sebagai seorang perempuan yang telah bersuami. Inilah yang sering dilupakan oleh para isteri yang bekerja di luar rumah.
Selain sebagai isteri, seorang perempuan memiliki status sebagai ibu bagi anak-anaknya. Apa hakekat seorang ibu? Ibu adalah tanah dimana bagai sebatang pohon, seorang anak tumbuh kembang diatasnya. Jika tanah subur pohon akan tumbuh dengan baik, berbunga dan berbuah. Tanah akan memeluk akar, akar bersandar pada tanah hingga menjadi sebatang pohon yang kuat, tidak rapuh dan tidak roboh. Maka jadilah ibu sebagai tanah yang baik bagi tumbuh kembang anak.
Allah telah menentukan kadarnya bagi perempuan untuk menjadi ibu. Bukan hanya karena kondisi biologis sehingga perempuan bisa dibuahi, hamil, melahirkan dan menyusui, tetapi juga seperangkat instrumen lain seperti sifat feminim yang sangat diperlukan dalam fungsi pengasuhan. Sifat feminim yang bersumber dari hormon yang terdapat pada perempuan sangat dibutuhkan oleh seorang bayi yang tidak berdaya. Tanpa adanya figur feminim yang mengasuhnya, maka keberlangsungan hidup manusia tidak dapat berjalan secara sehat . Sifat feminim dikaitkan dengan orientasi emosional yaitu pasif, berkorban untuk kepentingan orang lain, tergantung, afeksi atau pemberi cinta dan pengasuh . Fungsi pengasuhan dengan segala instrumen yang ada pada diri perempuan merupakan tugas yang diberikan Allah demi keberlangsungan kehidupan alam semesta yang seimbang terutama kehidupan manusia itu sendiri.
Melihat konteks kehidupan sekarang, banyak dari perempuan mengalami perluasan peran sebagai pencari nafkah. Dalam kondisi seperti ini hendaknya dipertimbangkan alokasi waktu agar perannya sebagai ibu dan sebagai perempuan bekerja dapat tertata dengan baik, terutama bagai para ibu yang memiliki anak usia pra sekolah (0-3 tahun). Banyak dari perempuan menyatakan kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari kuantitas pertemuan. Pernyataan seperti ini tidak dapat diterima untuk segala kondisi dan fase perkembangan anak. Bagi anak-anak balita, banyaknya waktu pertemuan justru menunjukkan kualitas pertemuan. Pengasuhan tidak hanya menyangkut hal-hal praktis seperti memberi makan dan bermain, tetapi makna dibalik itu adalah pembentukan kepribadian dasar anak. Yang harus diingat adalah setiap detik interaksi anak dengan orang-orang disekitarnya adalah sebuah proses pendidikan. Berikanlah yang terbaik untuk anak semampu mungkin. Jika dapat memberikan air susu ibu maka jangan diberikan susu formula (susu kaleng). Jika orang tua memiliki waktu cukup untuk anak-anaknya maka habiskanlah kebersamaan yang berkualitas dengan mereka.
Beberapa perempuan yang sudah berumah tangga mungkin lebih beruntung jika mereka mampu mempekerjaan pembantu rumah tangga. Tetapi yang harus diingat adalah pengasuhan dari aspek kualitas tidak dapat digantikan oleh orang lain karena bersifat sangat pribadi (orientasi personal) dan ada keterlibatan emosi di dalamnya. Hal inilah yang harus dipertimbangkan bahwa ada peran-peran yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun, yaitu perannya sebagai ibu yang memiliki fungsi pengasuhan dan pendidikan.
Kondisi fisik dan psikis seorang ibu sangat berpengaruh terhadap interaksi antar ibu dengan anak. Beberapa kasus kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh ibu kandung. Ibu kandung yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak adalah ibu dengan emosi yang labil. Selain karena kondisi ekonomi yang serba kekurangan, mereka juga adalah para isteri yang merasa disia-siakan dan diperlakukan semena-mena oleh suami.

D. Posisi dan Peran Anak Dalam Keluarga
Salah satu tujuan perkawinan adalah melahirkan keturunan. Setiap pasangan yang telah berumah tangga tentu mengharapkan keturunan (anak) yang berkualitas, sehat jasmani dan rohani, cerdas serta menjadi anak yang saleh/ salehah. Melahirkan dan menjadikan anak-anak sebagai pribadi yang berkualitas merupakan sebuah proses mendidik sepanjang kehidupan rumah tangga hingga sang anak dapat hidup mandiri secara sosial ekonomi sampai mampu membentuk keluarganya sendiri.
Satu hal yang perlu diperhatikan oleh setiap laki-laki dan perempuan yang ingin menikah adalah sebuah pemahaman bahwa persiapan pendidikan anak harus dimulai sejak pemilihan jodoh. Dalam hadist dinyatakann: Dari Asisyah ra: “Pilihlah untuk tempat air mani kamu dan pilihlah orang-orang yang sepadan.” Hadist ini memberi petunjuk bahwa seorang laki-laki yang ingin menikah hendaknya memperhatikan kepribadian calon isteri yang nanti akan menjadi ibu dari anak-anaknya. Ia hendaknya memperhatikan kemampuan calon isterinya dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya kelak. Seorang ibu yang memiliki kepribadian/ akhlak yang baik tentunya akan berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang anak-anaknya. Demikaian pula halnya jika seorang perempuan akan memilih calon suami, hendaknya diutamakan aspek kehidupan beragamanya sesuai dengan petunjuk Rasul: Jika kepadamu datang (meminang) seorang pemuda yang kamu senang akan agama dan akhlaknya maka kawinkanlah puterimu dengannya (H.R. Tirmizi).
Selanjutnya hubungan yang harmonis antara suami dan isteri sangat berpengaruh terhadap proses pendidikan anak dalam rumah tangga. Pengaruh ini tidak hanya ketika si anak telah lahir, tetapi juga sejak anak masih dalam kandungan. Perasaan seorang ibu ketika hamil akan berpengaruh terhadap janin. Ketika si ibu merasa senang, pesan biologis kesenangan ini akan ditransmisikan kepada bayi . Penelitian para ilmuwan dalam bidang perkembangan menunjukkan bahwa janin berusia 5 bulan sudah merasakan stimulus dari luar . Jadi selain janin menerima stimulus tentang perasaan si ibu pada usia 5 bulan, janin juga dapat mendengar suara-suara dari luar rahim. Itulah sebabnya lingkungan sosial (hubungan harmonis dalam keluarga) dapat berpengaruh terhadap kondisi dan stimulasi janin. Karena itu dapat dimengerti mengapa seorang ibu hamil yang mengalami tekanan bathin dapat mengalami keguguran.
Dengan keyakinan bahwa anak dalam kandungan sudah dapat menerima stimulus dari luar dan dapat dididik, DR. H Baihaqi AK memberikan petunjuk praktis tentang metode mendidik anak dalam kandungan secara islami seperti metode membaca Al Qur’an untuk ibu hamil serta kegiatan-kegiatan ibadah yang lainnya . Lebih baik lagi apabila kegiatan ibadah ini memiliki pola tertentu (teratur, berkala, rutin) sehingga dapat menjadi stimulus yang baik bagi janin. Kegiatan peribadatan yang sudah terpola misalnya sholat lima waktu, membaca AL Qur’an dan berzikirpun sebaiknya dilakukan terpola (rutin pada waktu yang telah ditentukan) dan dengan suara yang kira-kira terdengar oleh janin dalam perut ibu.
Hubungan yang harmonis antara suami dan isteri sangat mempengaruhi proses mendidik anak dalam kandungan. Suasana yang tenang dan menentramkan dari lingkungan akan memberikan rangsang positif bagi anak dalam kandungan. Sebaliknya hubungan yang penuh konflik dan penuh pertentangan dan perselisihan antara suami dan isteri merupakan faktor yang tidak menguntungkan dalam upaya pendidikan anak dalam kandungan.
Hasil penelitian membuktikan bahwa bayi yang diberi stimulasi pralahir, lebih mudah menyesuaikan diri, lebih mudah disusui dan memiliki kemampuan lebih dalam hal bahasa serta mampu menyelesaikan masalah dibanding teman-teman sebayanya yang tidak diberi stimulasi pralahir . Karena itu sangat perlu untuk memahami dan mengusahakan bahwa pendidikan anak bukan dimulai ketika ia lahir tetapi sejak sang bayi masih dalam kandungan. Tentu saja pendidikan yang terbaik bagi anak baik sebelum atau sesudah lahir adalah pendidikan yang islami. Jika metode Barat menyarankan agar mendengarkan lagu-lagu klasik untuk meningkatkan kemampuan kecerdasan anak dan mengajaknya berbicara dengan cara yang terpola, maka alangkah kebih baiknya orang tua memperdengarkan juga ayat-ayat Al Qur’an, salawat, wirid dan lagu-lagu islami.
Orang tua wajib memiliki kewajiban membesarkan anak-anaknya sebagai amanat dari Allah. Jadi posisi anak-anak dalam pandangan orang tua adalah sebagai amanah (titipan) dari Allah yang wajib dididik dengan menyediakan lingkungan yang sehat bagi tumbuh kembang anak hingga dewasa. Lingkungan sehat yang dimaksud bukan hanya lingkungan fisik tetapi juga lingkungan sosialnya. Anak tidak selayaknya diperlakukan sebagai investasi yang diharapkan menjamin kehidupan orang tua di masa depan.
Pendidikan untuk anak diawali dengan keinginan dari orang tua untuk dapat menjalankan peran-peranya sebagai seorang ayah dan seorang ibu yang baik. Tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua. Tetapi setiap orang senantiasa harus belajar dari pengalaman, dari buku-buku bacaan atau dari diskusi-diskusi yang membahas tentang pendidikan anak. Kesadaran bahwa mereka (orang tua) merupakan figur pertama yang dijadikan contoh oleh anak dalam proses pembentukan kepribadian akan membuat orang tua berusaha menampilkan diri sebagai seseorang yang memiliki kekuatan moral dan spiritual. Memang, orang tua adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Tetapi kesadaran bahwa mereka adalah contoh yang dijadikan referensi oleh anak dalam proses menjadi manusia dewasa, akan mengurangi kelalaiannya dalam menjalankan peran-peran sosialnya. Rasulallah bersabda: “Jika sesorang memiliki sifat shaleh, maka Allah kelak mengaruniakan atas diri anak-anak dan cucu yang shaleh pula .” Sebaliknya apabila orang tua banyak melakukan tinddakan-tindakan yang tidak sesuai norma agama, tentu hal ini akan sangat berpengaruh buruk pada anak.
Selain orang tua dan anggota keluarga lainnya, sekolah dan lingkungan pergaulan ikut serta mempengaruhi kepribadian anak. Disini orang tua memiliki peran penting untuk memberi pandangan tentang apa yang terjadi di luar sana. Masyarakat memiliki nilai-nilai yang majemuk. Keluarga dan masyarakat kadangkala memiliki perbedaan dalam menilai apakah sesutru itu buruk atau baik, misalnya tentang cara berpakaian dan cara bergaul dengan lawan jenis. Tidak mungkin pula orang tua mengurung atau menutup pengaruh luar itu atas diri anak. Anak-anak akan mendapatkan informasi tentang dunia luar dari TV, majalah atau internet yang tak mungkin orang tua mencegahnya. Maka tugas inti dari orang tua dalam mendidik anak adalah bagaimana membentuk kontrol diri si anak sehingga sengan sendirinya anak-anak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan hal apa saja yang harus dihindari.
Membentuk kemampuan kontrol diri anak tidaklah secepat memberikan pendidikan kursus atau pelatihan. Pembentukan kontrol diri lebih banyak berkaitan dengan proses sosialisasi dan bagaimana sebuah sistem nilai itu dijiwai dan dihayati sehingga membentuk sebuah sikap yang menetap dan membentuk pola perilaku. Dengan demikian diperlukan komunikasi yang intens, interaksi yang akrab dan contoh-contoh perilaku yang nyata dari orang tua. Maka berikanlah waktu yang cukup untuk anak, hubungan yang berkualitas sesuai fase perkembangan anak sehingga proses transfer nilai (terutama nilai-nilai agama) dapat berjalan dengan baik.

E. Kesimpulan
Lembaga perkawinan (keluarga) merupakan sebuah lembaga yang sakral. Di dalamnya banyak diikutsertakan nama Tuhan. Perkawinan diikat atas nama Allah melalui ijab kabul, oleh karena itu semua status dan peran yang dijalankan di dalamnya memiliki nilai-nilai ketuhanan. Pada waktu ijab kabul, Allah menitipkan (amanah) seorang perempuan kepada laki-laki. Peran-peran sebagai suami dan isteri memiliki nilai ibadah yang tinggi dan pahala yang besar bagi mereka yang berusaha menjalankan peran-perannya dengan sungguh-sungguh dan sebenar-benarnya. Adapun pendidikan anak dalam keluarga dijalankan dalam rangka melaksanakan amanah Allah untuk menciptakan keturunan yang lebih baik.
Dalam kondisi sekarang ini banyak orang melupakan bahwa perselingkuhan, pengabaian terhadap anggota keluarga atau kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindakan menodai kesakralan rumah tangga yang telah diikat atas nama Allah. Islam telah mengatur sedemikian rupa agar ikatan perkawinan berjalan harmonis, seimbang dan adil, maka setiap perubahan, dinamika dan masalah-masalah yang terjadi dalam keluarga hendaknya dikembalikan kepada konsep perkawinan Islam.

No comments:

Post a Comment