Thursday 18 March 2010

METODE PENEMUAN HUKUM DALAM PERKEMBANGAN HUKUM NASIONAL

Telah Diterbitkan pada ADIL Jurnal Hukum dan Hak Asasi Manusia. IAIN SMHB Vol 2. No. 1 2009

OLEH: WAZIN BAIHAQI

A. Latar Belakang Masalah
Manusia berkepentingan untuk merasa bahwa ia aman. Aman berarti bahwa kepentingan-kepentingannya tidak diganggu. Oleh karena itu manusia selalu berharap bahwa bahwa kepentingan-kepentingannya dilindungi dari konflik, gangguan-gangguan dan bahaya yang mengancam serta menyerang kepentingan dirinya dan kehidupan bersama. Gangguan dan konflik harus dicegah dan tidak dibiarkan berlangsung terus, karena akan merusak kesimbangan tatanan masyarakat. Jadi manusia di dalam masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan. Perlindungan kepentingan itu akan tercapai jika tercipta pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia seharusnya hidup dalam masyarakat agar tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Pedoman, patokan atau ukuran untuk bertingkah laku atau bersikap dalam kehidupan bersama itu disebut dengan norma atau kaidah sosial . Kaidah sosial pada hakekatnya merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang dijalankan atau atau yang dianjurkan untuk dijalankan .
Berkaitan dengan kaidah hukum dapat dijelaskan bahwa kaidah hukum ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkrit, yaitu pelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia melainkan untuk agar masyarakat tertib, agar jangan sampai jatuh korban kejahatan atau agar tidak terjadi kejahatan. Isi kaidah hukum ditujukan kepada sikap lahir manusia. Jadi kaidah hukum mengutamakan perbuatan lahir manusia. Hal ini berarti apa yang ada dalam batin manusia dan difikirkan oleh manusia tidak menjadi masalah asalkan secara lahir dia tidak melanggar hukum.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Jadi agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai tapi dapat terjadi juga pelanggaran hukum. Dalam kasus pelanggaran hukum inilah maka hukum harus ditegakkan. Melalui penegakkan hukum inilah, hukum itu menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum, terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit)dan keadilan (gerechtigkeit) . Kepastian hukum merupakan perlindungann yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang. Masyarakat mengharapkan kepastian hukum agar masyarakat menjadi aman dan tertib. Masyarakat pun mengharapkan manfaat atau kegunaan dari penegakkan hukum, jangan sampai justru karena penegakkan hukum tersebut kemudian menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Keadilan dalam penegakkan hukum juga merupakan harapan dari masyarakat. Keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Dengan demikian penegakkan hukum yang memperhatikan keadilan berarti pula memperhatikan faktor-faktor subyektif yang terlibat dalam kasus hukum. Dalam menegakkan hukum, ketiga unsur itu harus diperhatikan secara proporsional dan penuh kompromi.
Pembahasan tentang hukum cenderung dikaitkan dengan perundang-undangan. Undan-undang sendiri tidak sempurna. Hal ini disebabkan tidak mungkin undang-undang mengatur seluruh kegiatan manusia secara tuntas. Adakalanya undang-undang tidak jelas dan adakalanya tidak lengkap. Meskipun tidak lengkap dan tidak jelas, undang-undang tersebut tetap harus dilaksanakan. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumannya tidak lengkap dan tidak jelas. Ia dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang atau tidak adanya hukum.
Jika dalam perkara tertentu tidak lengkap atau tidak jelas dalam undang-undang maka hakim harus mencari hukumnya atau menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penegakkan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum. Karena itu usaha penemuan hukum ini merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan hakim dalam memutuskan perkara.
Penemuan hukum (rechtsvinding) ini menjadi pokok bahasan yang lebih menarik karena dinamikanya dalam merujuk pada undang-undang dan kasus-kasus serupa yang pernah diputuskan perkaranya. Makalah ini akan membahas bagaimana metode penemuan hukum dalam perkembangan hukum nasional.
B. Perumusan Masalah
Dengan latar belakang masalah di atas maka dirumuskan masalah sebagai berikut:
1) Bagaimanakah proses penemuan hukum tersebut?
2) Bagaimanakah metode penemuan hukum dalam perkembangan hukum nasional?


C. Pembahasan
1. Proses Penemuan Hukum
Indonesia dalam perspektif keluarga-keluarga sistem hukum di dunia, termasuk salah satu dari keluarga hukum Eropa Kontinental (civil law)yang sering diperlawankan dengan hukum common law. Kedua sistem hukum ini merupakan dua sistem hukum utama yang banyak diterapkan di dunia. Sistem Eropa Kontinental ini mengutamakan hukum tertulis dan terkodifikasi sebagai sendi utama dari sistem hukum Eropa Kontinental.
Sistem hukum civil law muncul pada abad ke 13M dan sejak saat itu mengalami perkembangan dan perubahan atau dengan istilah lain menjalani suatu evolusi. Evolusi dalam hukum civil law ini pada dasarnya merupakan proses penyempurnaan demi untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang terus berubah. Evolusi dalam hukum civil law ini sangat terkait erat dengan perubahan masyarakat internasional, khususnya tentang hubungan antar negara yang lebih seimbang. Beberapa ciri penting yang menandai perkembangan sistem hukum civil law adalah:
1) Bangkitnya kesadaran masyarakat bangsa-bangsa akan makna kemerdekaan, kesederajatan dan kerja sama antar bangsa. Ciri ini ditandai oleh makna gerakan kemerdekaan untuk melepaskan diri dari penguasaan kolonialisme. Pada tahun 1945 masyarakat internasional telah menjadi suatu komunitas bangsa-bangsa yang merdeka. Ketika itu PBB beranggotakan 51 negara yang pada tahun 1992 berkembang menjadi 166 negara.
2) Berubahnya orientasi masyarakat internasional dari perluasan oleh negara-negara kolonial pada pra perang dunia II ke arah kerjasama, pembangunan kesejahteraan dan pembagunan ekonomi global. Perkembangan ini ditandai pula oleh meluasnya partisipan kegiatan ekonomi ke kawasan Asia Afrika dan Asia Pasifik, yang sebelum perang dunia II lebih terpusat di kawasan Eropa Barat dan Amerika Utara . Selain perkembangan masyarakat internasional, perubahan di tingkat regional atau nasional pun turut berpengaruh terhadap perubahan sistem hukum suatu negara.
Sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya sebagai suatu bangsa yang merdeka, para pendiri bangsa ketika itu telah memilih dan sepakat menentukan bahwa hukumlah yang dapat dijadikan pijakan dan landasan hidup berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Sistem hukum yang dipergunakan di Indonesia adalah sistem hukum civil law yaitu sistem hukum yang terkodifikasi dan tertulis. Dipergunakannya sistem hukum civil law di Indonesia juga dipengaruhi oleh penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selama 350 tahun melalui kebijakan bewuste rechtspolitiek yang kemudian pasca kemerdekaan tata hukum tersebut diresepsi menjadi tata hukum nasional Indonesia melalui aturan peralihan UUD 1945 Pasal II (Pra amandemen) yang menyatakan: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dengan demikian keberadaan lembaga dan aturan-aturan yang di bawa Belanda yang menganut sistem civil law ikut serta di adopsi ke dalam tata hukum Negara Republik Indonesia.
Salah satu karakteristik utama civil law ini adalah penggunaan aturan-aturan yang tertulis dan terbukukan (kodifikasi) sebagai sumber hukumnya. Pemikiran kodifikasi ini dipengaruhi oleh konsepsi hukum abad ke 18-19 yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan demi kepastian hukum, kaidah-kaidah hukum itu harus tertulis dalam bentuk undang-undang. Adapun bentuk undang-undang tersebut harus bersifat umum (algemeen) baik mengenai waktu, tempat ataupun obyeknya. Kemudian undang-undang tersebut harus lengkap, tersusun dalam suatu kodifikasi. Berdasarkan pandangan ini, pemerintah dan hakim tidak lebih dari sebuah mesin yang menerapkan undang-undang (secara mekanis).
Berbeda dengan sistem Eropa Kontinental, sistem anglo saxon yang biaa disebut dengan sistem common law merupakan sistem hukum yang menjadikan yurisprudensi sebagai sendi utama di dalam sistem hukumnya. Yurisprudensi merupakan keputusan-keputusan hakim mengenai suatu perkara konkrit yang kemudian putusan tersebutmenciptakan kaidah dan asas-asas hukum yang kemudian mengikat bagi para hakim-hakim berikutnya yang memutus suatu perkara yang memiliki karakteristik yang sama dengan perkara sebelumnya. Sistem hukum common law ini menyebar dari daratan Inggris dan daerah-daerah persemakmuran (eks jajahan Inggria), Amerika Serikat, Canada dan Australia. Pada perkembangan selanjutnya kedua sistem hukum ini mengalami konvergensi (saling mendekati) yang ditandai dengan beperan pentingnya undang-undang dalam sistem hukum common law dan peranan yang signifikan dar yurisprudence dalam sistem hukum civil law.
Peraturan dalam bentuk perundangan-undangan yang terkodifikasi memiliki peranan yang semakin penting dikarenakan faktor-faktor sebagai berikut:
1) Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang lebih mudah dikenali, mudah diketemukan kembali dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis maka kaidah hukum lebih jelas bentuk, jenis, tempat dan pembuat hukumnya.
2) Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang yang lebih nyata karena kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan ditemukan kembali.
3) Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jelas sehingga memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik dari segi formal maupun muatan materinya.
4) Pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan. Faktor ini sangat penting bagi negara-negara yang sedang membangun, termasuk sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi ini memiliki kelemahan-kelemahan antara lain:
1) Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan perkembangan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tata cara tertentu. Sementara itu masyarakat berkembang terus dengan cepat. Akibatnya akan terjadi jurang antara perundang-undangan dengan perkembangan masyarakat. Dalam keadaan demikian masyarakat akan menumbuhkan hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bagi masyarakat yang tidak mampu menumbuhkan hukum sendiri akan terpaksa menerima peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan. Penerapan peraturan perundang-undangan yang ketinggalan tersebut mungkin akan dirasakan sebagai ketidakadilan dan dapat menjadi hambatan bagi perkembangan masyarakat.
2) Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan menimbulkan apa yang lazim disebut dengan kekosongan hukum (rechtsvacuum). Untuk menghindari kekosongan hukum maka ditetapkanlah keonsep penemuan hukum oleh hakim.
Kekosongan hukum akan sangat mungkin terjadi dan akan menimbulkan kebangkrutan keadilan (banckrupty of justice) yaitu suatu kondisi simana hukum tidak dapat memfungsikan dirinya di tengah-tengah masyarakat. Karena itu kekosongan hukum sedapat mungkin dihindari. Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak hukum (hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang. Jika undang-undang yang mengatur peristiwa konkrit tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka dalam hal ini penegak hukum (hakim) harus mencari, menggali dan mengkajihukumnya. Hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum (rechtvinding).
Problematika yang berhubungan dengan penemuan hukum ini memang opada umumnya dipusatkan sekitar hakim, kakrena dalam kesehariannya hakim senantiasa dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikan. Hasil penemuan hukum oleh hakim tersebut merupakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum serta dituangkan dalam bentuk putusan. Selain itu hasil penemuan hukum oleh hakim juga merupakan sumber hukum. Penemuan hukum itu sendiri lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim aau oleh petugas-petugas hukum yang diberi tugas melaksanakan hukumterhadap peristiwa hukum yang kongkrit.
Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi sehingga diperlukannya suatu analisis terhadap prosedur penemuan hukum oleh hakim yaitu:
1) Kegiatan manusia sangat luas dan beragam sehingga tidak mungkin semuanya tercakup dalam satu perundang-undangan tertulis yang tuntas dan jelas. Dengan demikian tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya. Karena hukum yang tidak lengkap dan tidak jelas tersebut, maka harus dicari dan ditemukan.
2) Perhatian dan kesadaran akan sifat dan tugas peradilan telah berlangsung lama. Ajaran penemuan hukum, ajaran penafsiran hukum atau metode yuridis ini dalam abad ke 19 dikenal dengan hermeneutic yuridis (hermeneutika).
3) Munculnya suatu gejala umum yaitu kurangnya serta menipisnya rasa kepercayaan sebagian besar masyarakatterhadap proses penegakan hukum.
4) Dari penyelesaian perkara (kasus) yang ada, tidak jarang hakim selaku penegak hukum menjatuhkan vonis dengan melukai rasa keadilan masyarakat karena terlalu kaku dalam melihat suatu peraturan.
Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa penemuan hukum adalah kegiatan atau usaha menemukan hukumnya karena hukumnya tidak lengkap dan tidak lengkap. Pada umumnya penemuan hukum diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum . Adapun penemuan hukum meliputi proses perumusan masalah, pemecahan maslah hukum dan pengambilan keputusan. Kemudian dalam menemukan hukum ada ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dikuasai yaitu:
a. Adanya tata urutan dalam sumber (penemuan) hukum (hierarkhi).
b. Sistem hukum.
c. Metode penemuan hukum.
Sumber (penemuan hukum) mengenal tata aturan (hierarki). Sumber penemuan hukum itu adalah peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internaional dan doktrin. Undang-undang atau didahulkan dari sumber hukum lainnya. Misalnya jika hendak mencari sebuah istilah hukum maka harus terlebih dahulu merujuk pada undang-undang. Jika tidak ditemukan dalam undang-undang maka dicari dalam hukum kebiasaan kemudian dalam yurisprudensi dan seterusnya.
Hukum merupakan suatu sistem yaitu suatu kesatuan yang tidak menghendaki adanya konflik di dalamnya. Karena itu dalam menemukan hukum, ciri-ciri sistem hukum harus diketahui. Sistem hukum memiliki klasifikasi dan konsisten (secara ajeg mengatasi konflik yang terjadi) serta memilikikonsep-konsep yang fundamental. Faktor-faktir dalam sistem hukum ini harus diperhatikan dalam menemukan hukum.
Untuk menemukan hukum ada cara atau metodenya. Metode penemuan hukum itu adalah penafsiran (interpretasi), metode argumantasi dan metode eksposisi atau konstruksi hukum.
Bagaimanakah prosedur penemuan hukum itu? Prosedur penemuan hukum itu meliputi jawab menjawab yang tujuannya agar hakim mengatahui peristiwa konkrit apa yan sekiranya menjadi sengketa antara kedua belah pihak. Jika oleh hakim sudah diketahui peristiwa konkretnya, maka peristiwa atau sengketa itu dibuktikan agar hakim dapat mengkonstatasi kebenaran peristiwa atau konkret atau sengketa tersebut. Hakim tidak akan mengkontatasi peristiwa jika tidak ada pembuktian lebih dahulu. Setelah peristiwanya dirumuskan atau dikontatasi maka peristiwa konkret itu diterjemahkan dalam bahasa hukum agar (peraturan) atau hukumnya dapat diterapkan. Sebab (peraturan) hukumnya tidak dapat diterapkan secara langsungterhadap peritiwa konkretnya. Jadi peristiwa yang telah dikontatasi tersebut kemudian harus dikonversi menjadi peristiwa hukum, kemudian barulah hukumnya dapat diterapkan dan diambillah keputusan. Penemuan hukum merupakan rangkaian kegiatan sehingga pada hakekatnya penemuan hukum itu dimulai sejak jawab menjawab. Akan tetapi momentum dimulainya penemuan hukum adalah saat membuktikan dan kualifikasi peristiwa konkretnya.

2. Metode Penemuan Hukum Dalam Perkembangan Hukum Nasional
Di Indonesia, landasan yuridis bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum terdapat pada pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara yanag diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, mlainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang kepadanya untuk memohon keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggung jawabpenuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan landasa yuridis bagi hakim untuk menggali penemuan hukum dan penciptaan hukum sebagai suatu kewajibannya adalah sebagaimana termaktub dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang bunyinya: “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat” Jo Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang bunyinya: “Haki wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Landasan yuridis yang memberi wewenang pada hakim dalam melakukan penemuan hukum, mengandung pengertian bahwa hukum harus bisa memecahkan suatu persoalan dari suatu realitas baru masyarakat, sehingga jika tidak akan menyebabkan bankrupty of justice yaitu suatu konsep yang mengacu pada kondisi dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu perkara akibat ketiadaan aturan hukum yang mengaturnya. Untuk menyelesaikan persoalan ini maka diberikanlah wewenang kepada hakim untuk mampu mengembangkan hukum atau menemukan hukum (rechtsvinding). Hakim pada prinsipnya merupakan corong dari undang-undang, dimana peranan dari kekuasaan kehakiman hanya sebagai penerap undang-undang (rule adjudication function) yang bukan merupakan pembuat undang-undang (rule making function). Mengingat pada fungsi sebenarnya dari hakim ini maka diperlukan batasan-batasan mengenai penemuan hukum oleh hakim dengan menggunakan konstruksi hukum yang terdiri dari kontruksi analogi, konstruksi penghalusan hukum dan konstruksi argumentatum a contrario .
Akhirnya diperlukan peranan hakim yang lebih besar dari pada sekedar corong undang-undang, terutama dalam rangka mengisi kekosongan hukum dengan memiliki kewenangan untuk melakukan penafsiran, melakukan analogi, melakukan penghalusan hukum dan lain-lain. Hal ini kemudian yang seing istilahkan judge of law atau penemuan hukum (rechtsvinding).
Seperti telah dijelaskan bahwa konsep penemuan hukum di Indonesia diakomodir didalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004 dimana dalam pasal 16 ayat (1), dinyatakan sebagai berikut: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memerikasa dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Pada pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut sangat jelas hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara atas dasar ketiadaandasar hukum. Dalam konteks hukum Indonesia, kebangkrutan hukum tidak diperbolehkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang sebelumnya ada pada pasa 14 ayat (1) undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, yang oleh Mochtar Kusuma Atmaja disebut juga dengan asas non liquit yang merupakan cerminan dari Pasal 22 Algemene Bepalingen (AB) pada masa Belanda .
Persoalan yang muncul kemudian adalah megenai apakah hakim dalam konteks penemuan hukummemiliki kesamaan pengertian dengan konsep membuat hukum (judge made law) seperti dalam sistem hukum common law. Pengertian judge made law dalam pengertian hukum common law ialah bahwa hakim memiliki peranan dalam membentuk suatu norma hukum yang mengikat yang didasarkan pada kasus-kasus konkret. Sehingga hukum di dalam pengertian ini benar-benar membentuk suatu norma hukum baru. Untuk mencapai kepastian hukum maka dikembangkanlah sistem precedent, dimana hakim terikat dengan keputusan hakim terdahulu menyangkut suatu perkara yang identik. Apabila dalam suatu perkara hakim dalam menerapka precedent justru akan melahirkan ketidakadilan maka hakim harus menemukan unsur perbedaannya. Dengan demikian ia bebas membuat putusan baru yang menyimpang dari putusan lama.
Dalam sistem hukum Eropa Kontinental khususnya Belanda, penemuan hukumdidasrkan pada ajaran menemukan hukum dengan bebas (vrije rechtsvinding). Vrije rechtvinding terbagi menjadi tiga ajaran menyangkut dimanakah hukum bebas tersebut dapat ditemukan. Ajaran pertama dimotori oleh Hamaker yang menyatakan bahwa hukum bebas dapat ditemukan dengan menggalinya dari adat-istiadaat masyarakat, karena itu ajaran ini disebut dengan ajaran aliran sosiologi. Ajaran kedua menyatakan bahwa hukum dapat ditemukan di dalam ketentuan-ketentuan kodrati yang sudah ada unatuk manusia. Ketentuan kodrati ini tertuang dalam kitab-kitab suci dan perenungan-perenungan kefilsafatan tentang keadilan danmoralitas, karena itu hukum ini disebut dengan hukum kodrat. Ajaran yang ketiga ialah aliran rechter-koningschap yaitu ajaran yang menghendaki hakim dalam menemukan hukum, tidak hanya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada namun lebih dari itu, hakim di dalam menemukan hukum harus juga dalam konteks mengoreksi dan jika perlu membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut dan menemukan hukum baru.
Dalam konteks hukum positif di Indionesia, dalam hal kewenangan hakim dalam menemukan hukum seperti yang dimaksud paa Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang kekuasaan kehakiman juga harus ditafsirkan secara sistematis dengan pasal 28 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yang berbunyi sebagai berikut:
(1). Hakim wajib menggali dan mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
(2). Dalam menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Dari kedua ayat tersebut di atas dalam pasal tersebut, dengan jelas dinyatakan bahwa hakim menggali, mengikuti dan memahami rasa keadilan masyarakat dan dalam menetapkan hukum kasus pidana hendaknya memperhatikan karakteristik terdakwa. Dengan demikian, Indonesia memang menganut ajaran penemuan hukum bebas (vrije rechtsvinding). Menyangkut penemuan hukum bebas ini hakim masih terikat oleh peraturan perundang-undangan, sehingga hukum bebas ini diposisikan sebagai tambahan dari aturan perundang-undangan. Hakim tidak dapat menyimpang dari aturan perundang-undangan tetapi hakim dapat mengkontekskan aturan hukum yang sesuai dengan rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat yang merupakan ajaran penemuan hukum bebas yang beraliran sosiologis. Namun tidak sebatas itu, rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat juga dapat ditafsirkan di dalam dinamika sosial kemasyarakatn, dimana aspek tuntutan dan tekanan masyarakat mengenai mana yang adil dan tidak adil menjadi aspek yang tidak dapat diabaikan dalam memutuskan perkara.
Beberapa contoh penemuan hukum yang menjadi presedent di dalam hukum Indonesia diantaranya adalah:
1. Kasus Sengkon dan Karta yang menumbuhkan kembali lembaga herzeiningi (penijauan kembali.
2. Penafsiran secar meluas (ekstensif) di dalam definisi mengenai barang dalam pasal 378 oleh Bintan Siregar.
3. Pada zaman kolonial dengan beberapa brenchmark cases, seperti mendefinikan ulang unsur-unsur perbuatan melawan hukum melalui kasus pipa ledeng atau mendefinisikan secara luas (ekstensif) pengertian barang dalam delik pencurian, yang mengkualifikasikan listrik sebagai barang pada H.R. 23 Mei 1921, N.J. 1921, 564.
4. Dalam konteks hukum nasional ialah putusan yang mengizinkan perubahan status jenis kelamin pasca operasi sebagaimana diputus oleh Pengadilan Jakarta Selatan dan Barat Nomor 546/73.P tanggal 14 November 1973 dengan pemohon Iwan Robianto Iskandar.
5. Mahkamah Agung mengklaim telah melakukan penemuan hukum tatkala memutus perkara sengketa Pilkada Sulsel. Hal ini dilakukan demi memperoleh kebenaran materiaal/ substansial yang tidak mungkin diperoleh jika hanya mengikuti peraturan formal. Namun banyak pihak menyatakan bahwa Mahkamah Agung (MA) telah melampaui wewenang dan sama sekali tidak mempertimbangkan peraturan perundang-undangan pilkada seperti UU No. 32 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya .
Penemusn hukum secara operaional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penafsiran, yang menggunakan asa-asas logika. Namun demikian penafsiran tidak melulu menggunakan asas-asas logika. Terdapat aspek-aspek lain yang juga menentukan keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke dalam suatu perkara, yaitu faktor-faktor non logikal dan non yuridis yang dapat menghaluskan hukum (rechtstvervijning), sehingga hukum tidak menjadi keras bagi kelompok-kelompok tertentu. Misalnya seseorang yang mencuri karena didesak oleh kebutuhan ekonomi tentu berbeda hukumannya dengan orang yang mencuri karena ketamakan. Dalam konteks ini adagium lex dura, sed temen scripta (hukum adalah keras, tetapi memang demikian bunyinya) menjadi tidak relevan lagi.
Dalam konteks perkembangan hukum nasional, transformasi dari era orde baru kepada era reformasi, menjadi momentum yang cukup penting dalam dunia hukum. Pada prinsipnya, kerangka utama strategi politik mengenai pembangunan hukum nasional selama tiga dasa warsa yang lalu memiliki konsep dasar yang sama yaitu UUD 1945, memiliki landasan ideal yang tidak berubah yaitu Pancasila dan memiliki landasan operasional yang sama yaitu tujuan nasionalyang tercantum dalam pembukaan UUD 45 dengan tetap struktur kelembagaan pemerintah yang memakai sistem pemerintahan presidensil. Faktor domestik maupun hubungan dengan luar secara regional maupun global juga terdapat dalam setiap rumusan public policy dalam setiap GBHN yang ditetapkan oleh MPR dari tahun 1973 hingga 1999. Peraturan perundang-undangan pun tetap menyusul untuk menindaklanjuti kebijakan politis dalam GBHN. Namun terlepas UUD 45 yang menurut teks dan jiwanya disemangati oleh asas keadilan sosial dan keberpihakan kepada konsep sebesarpbesarnya kemakmuran rakyat, tidak selalu demikian pada garis politik dan perundang-undangan yang menyudul dibawahnya . GBHN yang dihasilkan pada Maret 1998 dan 1999 mengundang pandangan berbagai pihak mengenai konsistensi dan akomadatif serta aspiratif isi GBHN tersebut. Masyarakat menilai presiden Soeharto selalu top administrator dan top management dan tidak konsisten menjabarkan pesan-pesan politik dalam GBHN. Bahkan melakukakn manipulasi kebijakan melalui penerbitan Keputusan-Keputusan Presiden yang tidak sesuai dengan paradigma keadilan sosial yang diamanatkan Pancasila dan UUD 45 dan GBHN . Jika dikaji ulang surut kepada kebijakan masa lampau dan dikaitkan dengan tuntutan reformasi masa kini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa inti tuntutan itu ialah agar paradigma atau kriteria sistem manajemen kehidupan nasional diluruskan kembali secara menyeluruh dengan memprioritaskan paradigma kebijakan dan tindakan di bidang politik, ekonomi dan penegakan hukum.
Era reformasi lahir setelah runtuhnya rezim orde baru pada Mei 1998. Pada masa –masa akhir pemerintahan orde baru, masyarakat merasakan adanya sesuatu yang kurang pada tempatnya dan bahkan menjurus kepada kezaliman seperti pengebirian terhadap kebebasan dan kediktatoran dalam kekuasaan . Dalam kondisi seperti itulah maka muncullah reformasi dalam suatu kegiatan berupa tuntutan-tuntutan perubahan dan perbaikan. Tuntutan pembaharuan itu baukan hanya pada bidang sosial, politik, budaya dan ekonomi tetapi juga termasuk reformasi hukum.
Sistem hukum Indonesia yang menganut sistem hukum civil law dimana peraturan perundang-undangan terkumpul dalam suatu peraturan tertulis dalam bentuk kodofokasi hukum, sudah barang tentu tidak dapat menampung aspirasi yang berjalan sinkron dengan perubahan dari orde baru ke era reformasi. Terlebih lagi bahwa di era reformasi ini perubahan berjalan sangat cepat sehingga bagaimanapun Undang-Undang berkerja demikian cepat untuk merespon perubahan, persoalan yang timbul dalam masyarkat ternyata berjalan lebih cepat lagi. Oleh karena itu sering terjadi dalam masyarkat suatu persoalan yang belum ada aturan hukumnya sehingga terjadi kekosongan hukum . Untuk menghindari kekosongan hukum inilah maka di era reformasi ini para hakim kemungkinan harus melakukan lebih banyak kreasinya dalam menemukan hukum, sehingga hukum dapat berfungsi sebagai pengawal perubahan dan sebagai alat rekayasa sosial.
Dalam Kesimpulan Dan Rekomendasi Seminar dan Temu Hukum Nasional IX Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Tahun 2008 diantaranya tertulis :
1. Perencanaan pembangunan hukum dalam era demokrasi juga harus memperhatikan menguatnya masyarakat yang selalu bergerak dinamis dan tidak dapat diperlakukan semena-mena. Adanya kemajuan sains yang semakin mencerahkan rakyatmengharuskan pembangunan hukum menjadi lebih cerdas karena masyarakat tidaklah bodoh melainkan penuh kearifan lokal yang muncul sebagai produk yang dirumuskan oleh elit-cendekia masyarakat. Oleh karena itu dalam merencanakan hukum, sistem-sistem hukum modern dari bangsa lain bisa menjadi bahan perbandingan namun konsep dan kearifan lokal yang telah dimiliki harus lebih diberdayakan.
2. Penegakan hukum sebagai subsistem hukum nasional harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip negara hukum dan dilaksanakan secara konsisten dan independen. Namun demikian dalam prakteknya penegakan hukum dewasa ini tidak sepenuhnya bebas (independen) dari intervesi institusi atau lembaga-lembaga lain, pada sisi lain ketentuan perundang-undangan tidak memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu, dalam pembentukan hukum di masa mendatang harus independen yang melahirkan ketentuan perundang-undangan yang demokratis, transparan, menjamin kepastian dan persamaan hukum, serta penegakan yang profesional dan keterpaduan dalam crimainal justice system.
3. Upaya penegakan hukum secara profesional, pada saat ini masih diliputi banyak kendala akan rapuhnya sistem peradilan. Selain sikap masyarakat yang permisif, rapuhnya sistem peradilan selama ini disebabkan oleh moralitas elit politik dan metodologi implementasinya dalam kebijakan politik yang riil, akibatnya proses peradilan menjadi korup. Untuk itu di masa mendatang pengembangan sistem peradilan harus merujuk pada spirit moralitas konstitusional, selaon itu diperlukan kematangan konseptaual untuk bergerak dari teks ke konteks dengan pendekatan hermeneutik. Ke depan, kepolisian, kejaksaan serta kehakiman perlu diposisikan sebagai lembaga negara yang independen terpisah dari eksekutif.
Kesimpulan Dan Rekomendasi Seminar dan Temu Hukum Nasional IX Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Tahun 2008 ini sangat terkait erat dengan aspek penemuan hukum di era reformasi. Hal ini mengingat terjadinya perubahan yang cukup besar dalam masyarakat dan berjalan demikian cepat sehingga peraturan perundang-undangan yang tertulis selalu dalam posisi selangkah di belakang perubahan tersebut. Karena itu hakim dituntut untuk lebih banyak berperan dalam penemuan hukum dengan mempertimbangkan aspek-aspek non logikal dan non yuridis. Namun penemuan hukum tersebut tidak akan memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat jika aparat penegak hukum tersebut tidak independen dan kurang profesional.

No comments:

Post a Comment